Dokter Bedah yang Jago Penca

By Gugum Indra Firdaus

Pagi itu, saya mulai bertugas di sebuah rumah sakit di jalur pantura. Berat memang, di saat puasa, dan ancaman jalur mudik yang padat. Seperti diketahui semua orang, jalur pantura adalah salah satu jalur utama yang digunakan para pemudik lebaran. Tentu akan menjadi pekerjaan yang berat dan melelahkan bagi kami, lantaran tak jarang sesuatu yang tak diinginkan seperti kecelakaan terjadi ketika arus mudik. Tak ayal hal ini membuat pekerjaan kami juga menjadi lebih berat. Ketika para pegawai libur lebaran, maka bagi di antara kami yang mungkin “kurang beruntung” harus tetap menjalankan tugas di saat hari raya sekalipun.

Ketika duduk di lorong RS, kami dipanggil masuk ke IBS (Instalasi Bedah Sentral), di dalam kami disambut oleh seluruh dokter bedah. Ada 4 dokter bedah di RS ini. Tiga orang ahli bedah umum dan satu orang ahli ortopedi (bedah tulang).

Selama di dalam kami diperkenalkan ke petugas IBS termasuk seluruh perawatnya. Tentu sebelum kita bekerja di suatu lingkungan alangkah baiknya kita mengenal lingkungan tempat kita bekerja terlebih dulu. Kemudian kami diajak ke ruang tamu, di sana kami saling bertukar informasi, yang tadinya belum tahu menjadi tahu, yang belum kenal jadi kenal.

Satu hal yang berkesan buat kami dan saya khususnya, ternyata salah satu dokter bedah umum di sini adalah ahli penca (pencaksilat), sebuah seni beladiri asli Indonesia, orangnya baik, ramah, dan sangat dekat dengan pasiennya. Beliau juga pandai “ngelawak”, sehingga semua pasien yang tadinya was-was dan takut dapat beruabah menjadi tersenyum. Walau saya yakin di hati pasien kala itu tetap was-was, tapi setidaknya ini menjadi “endorphin” yang cukup efektif bagi mereka. Beliau berkata, “Saya ini pekerjaan pokoknya adalah guru penca (silat), nah..sampingannya ya operasi..hahaha..”. Sebenarnya kami juga diajak untuk latihan penca, tapi berhubung jadwal dan waktu kami padat, maka hal ini sulit dilakukan.

Suasananya berubah riang dan bangsal rame ketika beliau visite (kunjungan dokter pada pasien), semua tersenyum bahkan terkadang tertawa terbahak. Setiap pasien, walaupun bukan pasien yang ditangani beliau, disapa dan ditanya tentang sakitnya. Hm..mungkin ini juga menjadi salah satu alasan mengapa pasien beliau terhitung banyak di kalangan dokter bedah di wilayah ini. Selain itu, beliau adalah orang asli daerah ini, sehingga faktor pribumi juga sangat berperan. Beliau juga sempat berpesan, “Lihatlah dan pelajari atau, kalau kamu tertarik, tirulah gaya saya visite, maka semua akan menjadi lebih santai dan pikiran kita tidak tertekan lantaran tumpukan pekerjaan lainnya yang harus kalian selesaikan.”. Tapi memang saya akui, gaya visitenya ok..sangat merakyat dan beliau tidak membeda-bedakan antara pasien di kelas 3, 2, 1 atau vip..Yang jelas beliau selalu berkata, “semuanya sama-sama perlu bantuan kita, maka bantu dan perlakukanlah mereka seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain.”

Di akhir pertemua beliau mengundang kami semua untuk buka bersama di salah satu hotel berbintang 3 di kota ini...waaaa...tentu kami tidak akan menolak..hehe..Katanya. “Biar lebih akrab dan kenal sama pendekar-pendekar wilayah sini..”

Intinya, apapun alasannya, kami tetep berangkat..yang penting makan-makan...ups..:p

Artikel lain : Hipospadia dan Gadis itu.


أحدث أقدم