Kemarin, saya baru saja pulang ke kampung halaman.
Ah..tempat yang sejuk, panorama indah, dan warga yang bersahabat, tempat yang
sempurna untuk beristirahat dan menjernihkan pikiran. Selain dalam rangka
“perbaikan gizi” juga dapat bonus ketemu keluarga yang sudah lama sekali tak
berjumpa.
Karena orang tua sedang berada di
rumah yang satunya, masuk kabupaten cilacap tapi dengan bahasa sehari-hari
adalah bahasa sunda, hehe..maka saya menyusul beliau ke sana.
Namun, ada sedikit hal yang
menggelitik pikiran saya ketika saya sampai. Saya sangat prihatin, lantaran di
setiap sekolah ditempel spanduk yang berbau politik dengan bahasa kampanye
politik pilkada yang tercetak tebal. Tadinya saya berpikir spanduk besar itu
hanya ada di sekolah tertentu saja, tapi setelah saya amati lebih jauh,
ternyata ini juga terjadi di sekolah-sekolah lainnya.
Spanduk itu tertempel di setiap
sekolah dari mulai SD, SMP, hingga SMA, hm..sangat menyedihkan. Harusnya
sekolah adalah lembaga yang netral dan bukan merupakan alat kampanye. Sekolah
adalah tempat di mana calon cendikiawan dibentuk, dan rasanya tidak pantas jika
pikiran mereka “dicekoki” oleh hal politis yang “kotor”, entah saya harus
bilang seperti apa untuk menggambarkannya. Tapi saya kok tidak menemukan kata
yang lebih baik lagi untuk keadaan ini.
Lagipula, anak SD dan SMP mungkin
masih bisa dikatakan tidak tahu apa-apa mengenai politik ini. Mereka juga tidak
akan menggunakan hak suara mereka untuk memilih karena memang mereka belum
memiliki hak suara dalam pilkada. Akan tetapi sekolah mereka tetap saja
dijadikan lahan kampanye politik yang menyedihkan. Mungkin, siswa SMA telah
lebih dewasa dalam hal ini, namun mereka adalah remaja yang masih mencari jati
dirinya, pengaruh luar sangat membekas di pikiran dan cara pandang mereka
kelak. Jadi, tak semestinya juga sekolah mereka dinodai dengan ini.
Beratus poster dan stiker memang
telah terpampang dan tertempel di tempat-tempat strategis. Apa itu tidak cukup
bagi penguasa, hingga menggunakan lahan sekolah sebagai tempat kampanye? Itulah
pertanyaan retorisnya. Lagi-lagi sangat menyedihkan.
Saya merasakan di kabupaten ini
memang aneh. Guru, notabene PNS, seperti juga tentara, polisi dan lainnya, yang
harusnya bersikap netral dalam masalah politik yang salah satunya pemilukada,
telah menjadi alat politik dan mereka terkesan “dipaksa” untuk memenuhi hasrat
penguasa pada saat itu. Mereka dikumpulkan dan diberi arahan untuk memilih
calon pemimpin tertentu. Apabila mereka tampak membangkang, maka penguasa tak
segan memberikan sanksi hingga mutasi bagi mereka. Padahal, apakah penguasa itu
dapat menjamin, mereka menggunakan hak suara mereka untuk memilih dia sebagai
penguasa selanjutnya? Itu saja mereka tidak akan pernah tahu. Ini memang
gila..makannya pantas sering kita dengar orang berujar, “Politik itu kotor,
tangan di atas saling berjabat tangan tapi kaki di bawah saling menendang”.
*sayang sekali saya tidak sempat
memotret contoh poster yang tertempel di sekolah sana, saya keburu pulang ke
tempat saya menimba ilmu.